Halaman 10: Pendidikan Lanjutan

Sebaiknya saya catat saja hasil diskusi di kelas dalam blog. Kalau mau nyalin lagi kok yaa monoton. Saya berjanji terhadap diri sendiri tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kali ini. So, ada baiknya nanti pointer-pointer matrikulasi saya share di blog.

Dalam 4 kali tatap muka dan entah jam belajar ke berapa saya tiba-tiba menyadari satu hal: akuntansi bukanlah bidang mutakhir. Lebih beken tentu perkembangan basic ilmu saya alias matematika komputasi, jujur meski dodol marodol di bidang ini saya bangga pernah belajar di matematika.

In the other side, setidaknya pengetahuan dalam kelas ini memback-up kerja saya di kantor yang jadi djongos kalau atasan-atasan bidang audit atau manajemen risk lagi kumpul-kumpul. Back-up bagian mana? Bukan dalam hal memberi sumbang pemikiran sih, yaa sekedar paham apa yang mereka bicarakan sehingga pola pikir saya tak mentok sebatas pekerjaan membabu.

Kebanyakan teman-teman barangkali, ketika saya tengok kiri-kanan, berharap sebuah loncatan yang cukup prestisius ketika mengambil program magister ini. Terkecuali para istri yang lebih mengarahkan langkahnya menjadi pengajar dengan mengambil bidang yang sejajar grade dasar. Me? Alasan awalnya barangkali karena khawatir tersibukkan hal-hal sepele dalam rumah tangga. Hohoho, saya baru merasakan rasanya menjelma perempuan yang ketika dibandingkan dengan laki-laki kok ya mudah sekali masalah tak terlalu penting jadi luar biasa.

Tadinya saya tertarik mengikuti kegiatan-kegiatan sosial-kebudayaan semisal di Salihara, Taman Ismail Marzuki, Erasmus Huis atau yang lain. Tapi kok dipikir dengan kondisi Jakarta yang mentok di mana-mana, rasanya keluyuran ke tempat-tempat tersebut memakan banyak waktu dan biaya. Ya biaya transport, ya biaya kegiatan, ya biaya konsumsi dan barangkali ditambah biaya buang air (kini tak lagi gratis :| ). Pun begitu barangkali wawasan kita meluas tapi apa buktinya? Dan punya nilai tambah bagaimana?

Akhirnya opsi melanjutkan pun saya lempar ke suami. Benefitnya jelas: ijazah (tentu disamping capaian yang lain seperti ilmu, pengalaman maupun relasi). Opsi ini jadi tak mudah ketika kita coba menentukan jurusan apa dan di perguruan tinggi mana. Pun pertama-pertama suami agak keberatan karena stressor untuk saya bisa makin tinggi sementara kami sangatlah menyegerakan untuk memiliki buah hati (bikinnya susah juga ternyata :( ). Tapi ada pertimbangan lain semisal, harapan terhadap 3 tahun kontrak honorer di tempat saya bekerja  yang tentu harus dimanfaatkan sementara investasi tabungan bukanlah hal yang cukup menjanjikan pemenuhan perihidup manusia (lagipula bila infllasi benar akan terjadi, tabungan puluhan juta tak bertahan lama tanpa ada kerja keras dari kami berdua) ditambah lagi waktu tunggu kurang lebih 1 tahun untuk pengangkatan suami sebagai abdi negara yang mungkin merupakan langkah yang bisa lebih memperjelas jalan kami ke depan. Setidaknya dalam analisa keuntungan, kesempatan, kelemahan dan hambatan inilah muncul celah untuk berinvestasi secara skill sehingga membuat kami berjaga-jaga pada kondisi masa mendatang yang bisa jadi tidak lebih menguntungkan.

Setelah telpon sana sini, survei ke PT yang ada, jatuhlah pilihan pada Magister Akuntansi Trisakti dengan berbagai pertimbangan tentunya. Saya pribadi memang lama sudah berhasrat ingin mempelajari ekonomi secara khusus. Karena ternyata ekonomi agak lieur saya pahami secara otodidak. Konsepnya mungkin sederhana tapi dinamika perekonomian sejauh inilah yang membuat bahasannya makin tahun makin menggudang. Butuh metode khas memahaminya. Suami sebenarnya lebih ingin saya melanjutkan ke aktuaria, tapi karena jurusan tersebut di Indonesia hanya ada di ITB tentu saja urung bagi kami melanjutkannya. Hambatan juga muncul pada masalah biaya. Mau PT yang bonafid? Punya uang berapa loe?

bersambung...

No comments:

Post a Comment