Pic: Aisha Bakari Gombi Boko Haram huntress (taken from here)
Saya cukup bersemangat menulis ini. Bukan pada masalah optimisme terhadap respon yang seimbang atas apa yang sedang saya usahakan, tapi sedang membagi kusut di kepala. Setidaknya menuangkannya dalam bentuk tulisan, mengurai sedikit demi sedikit belitan pertanyaan. Dan mengurangi rasa nyut-nyutan di ubun-ubun, sesak di hati maupun melilit di perut. Plong!
Ini merupakan rangkaian tulisan yang pastinya akan terus muncul pembaharuan. Gagasan di titik ini barangkali bisa berubah drastis di kesempatan lain.
Mengenai perempuan, saya berharap ada keseimbangan sudut pandang ketika hal ini dibicarakan. Biasanya materi2 tentang masalah2 perempuan diidentikkan dg feminisme. Dan jujur saja saya tidak akrab dengan materi feminisme. Saya hanya tahu ‘katanya…katanya…’ tapi belum pernah menelusuri sendiri apa yang terjadi dalam pergulatan para penggiat perempuan ini. Memang beberapa buku fiksi tentang ini pernah saya baca. Kendalanya: fiksi canggih untuk merendahkan tingkat abstraksi tapi tak cukup mutakhir untuk menjelaskan secara global: apa yang sesungguhnya terjadi?
Tulisan ini dipicu oleh artikel Hasan Al-Banna dalam kumpulan Risalah Pergerakan 2 dengan judul: Mar’ah Muslimah. Di sepanjang tubuh artikel akan Anda dapatkan segala pemaparan mengenai bagaimana Islam memperlakukan perempuan. Ini sudah biasa kita dengar, tapi ada hal istimewa di bagian belakang tulisan.
- Hasan Al-Banna menyodorkan pertanyaan menarik mengenai tarik ulur yang panas antara peran domestik dan kebebasan publik perempuan: maka adakah waktu bagi wanita untuk selesai dari urusan-urusan rumahnya untuk kemudian mengurus yang lainnya? (dalam pemikiran sosial masalah pekerjaan rumah tangga pun memiliki bahasan tersendiri dg tajuk domestic labour)
- Tapi muncul penjelasan berikutnya bahwa jika untuk keterpaksaan sosial, maka wanita diperbolehkan mengerjakan urusan lainnya dengan syarat-ketentuan berlaku.
- Kemudian Hasan Al-Banna menyadari sebuah fenomena yang terus berkembang bahwa kenyataan dunia modern menunjukkan tentang problem pegangguran dan ketidakmampuan para lelaki untuk bekerja yang tentu membawa konsekuensi baru bagi perempuan.
Bagi saya, dilema pada poin ketiga di atas itulah yang seharusnya memunculkan banyak diskusi mengenai perempuan. Terutama di sekitar kita. Permasalahan perempuan di satu sisi menjadi tajam karena kultur yang represif tapi di sisi lain hal ini ternyata tidak lepas dari masalah finansial. Masalah kesejahteraan masyarakat.
Entahlah, apakah Indonesia sudah cukup dijadikan sebagai sebuah dasar pandangan atau tidak. Yang jelas dari negara kita sendiri, jika menilik sejarah-sejarah pergerakan perempuan yang ada, maka jujur saya ‘bete’ setengah mati ketika banyak pihak menjadikan Kartini sebagai eksploitasi bahasan mengenai kondisi perempuan Indonesia. Bahkan gerakan Kartini pun tidak cukup untuk merepresentasikan Jawa. Jadi mengapakah Anda menghabiskan debat, apakah pemikiran Kartini ‘kebaratan’ atau ‘ketimuran’? Apalagi hari gini, saat dimana perempuan Indonesia menjadi asset devisa negara yang lama2 mirip barang ekspor saja.
Dan seputar sejarah perempuan di Indonesia: lupakah Anda pada Tribhuwana Tunggadewi dalam riwayat kepemimpinan imperium Majapahit? Dimana Anda letakkan Nyi Ageng Serang yang menjadi tangan kanan kepercayaan Diponegoro dalam Perang Jawa? Pada ketika yang sama dengan Kartini apakah Anda tidak melihat usaha Dewi Sartika? Masih ada Nyai Ahmad Dahlan dengan Aisyiyah-nya atau Nyai Hasyim Asy’ari dengan Muslimat Fatayat. Belum lagi bila kita masukkan sejarah gerakan perempuan di Sumatera. Aceh yang pernah dipimpin 4 Ratu dan seorang Panglima Angkatan Laut perempuan yang menyerbu armada kapal dagang bersenjata dari Belanda pimpinan Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman. Pahlawan pers dari Sumatera Barat: Rohana Koeddoes. Rahmah el Yunusiyah pendiri Asrama Putri Padang Panjang yang membuat Rektor Al Azhar Syekh Abdurrahman Taj terpesona, saat berkunjung ke Diniyyah Putri pada 1961, kemudian terinspirasi untuk membangun Fakultas Khusus Perempuan di Mesir. Dan seterusnya.
Dalam sejarah--di satu sisi--memang ada riwayat diskriminatif, tapi tentunya ini fokus yang cukup menjemukan. Perempuan Indonesia tak selalunya tersekat, begitupun perempuan Jawa apalagi perempuan di dunia. Bahwasannya ada masalah yang lebih kompleks dari sekedar kultur ternyata tak cukup tersentuh. Saya meyakini pastinya ada perbedaan antara perempuan-perempuan Eropa, Asia, Afrika. Apakah gerakan feminisme cukup mewakili permasalahan di belahan dunia tersebut? Yang saya lihat, justru generalisasi. Studi kasus selalunya dari Eropa/Amerika dan saya jumpalitan setengah mati mencari data-data permasalahan di luar benua tersebut. Ada, tapi kemudian menjadi sub bahasan dari kajian mengenai sebuah agama atau kepercayaan. Dan selalunya memicu konflik. Ngajak berantem.
Oleh karena itulah saya berusaha menyajikan sebuah alur menyeluruh yang sebisa mungkin 'sederhana' untuk diikuti. Di satu sisi ini melatih saya untuk mengemukakan pendapat, memberikan argumentasi bahkan mengelola kritik. Di sisi lain semoga ini bisa menjadi tambahan bahan renungan bagi yang lain.
Ini baru kata pengantar dari kajian panjang yang nanti akan saya bahas. Sasaran tulisan ini adalah para aktivis muslimah. Dan barangkali saya juga akan mengikutsertakan beberapa orang yang bisa memberikan masukan atau penilaian terhadap uraian ini. Saya harapkan Anda mampu memberikan referensi dari pemikiran Anda. Bukan apa-apa, saya kan ada hak untuk belajar juga.
Terimakasih atas apresiasi apapun yang Anda berikan.
referensi:
Risalah Pergerakan 2, Hasan Al-Banna
The Blackwell Dictionary of Modern Social Thought, William Outhwaite (edisi terjemahan)
Ruang Baca Tempo Edisi April 2009
No comments:
Post a Comment