Halaman 19: Female Matters (2): Rekam Jejak Pemikiran


Ahed Tamimi, Palestinian Activist (pict taken from here)

Disclaimertulisan ini digunakan untuk pembelajaran pribadi yang merupakan saripati dari Pendahuluan buku Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction karya Rosemarie Tong. Materi yang disusun ini bukan merupakan hasil kajian analitikal maupun materi literasi untuk umum, namun tidak lebih hanya sebagai upaya meningkatkan wawasan pribadi. 

Feminism secara umum dimaknai sebagai serangkaian gerakan politik, ideologi, dan gerakan sosial yang memiliki tujuan yang sama: untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan politik, ekonomi, pribadi, dan sosial gender. Termasuk upaya dari gerakan ini adalah membangun peluang pendidikan dan profesional bagi perempuan yang setara dengan laki-laki.

Gerakan feminis telah berkampanye dan terus mengampanyekan hak-hak perempuan, termasuk hak untuk memilih, memegang jabatan publik, bekerja, mendapatkan upah yang adil (atau upah yang sama), memiliki properti, menerima pendidikan, memiliki hak yang sama dalam pernikahan, dan memiliki cuti hamil. Kaum feminis juga telah bekerja untuk memastikan akses hukum untuk aborsi, untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Beberapa cendekiawan menganggap kampanye feminis sebagai kekuatan utama di balik perubahan sosial historis besar-besaran hak-hak perempuan, terutama di Barat, di mana feminis hampir secara universal diidentikkan dengan pencapain hak pilih perempuan, netralitas gender (dalam bahasa), hak reproduksi untuk perempuan (termasuk akses ke alat kontrasepsi dan aborsi), serta hak untuk menandatangani kontrak dan memiliki properti.

Meskipun advokasi feminis terutama difokuskan pada hak-hak perempuan, beberapa feminis mengajukan advokasi hak-hak laki-laki ke dalam visi gerakan feminis. Karena mereka percaya bahwa laki-laki juga dirugikan oleh peran gender tradisional. Teori feminis bertujuan untuk memahami karakter opresi (kecenderungan perilaku menindas) terhadap perempuan dengan memeriksa peran sosial dan pengalaman hidup perempuan. Hingga saat ini teori feminis berkembang dalam berbagai disiplin ilmu untuk menanggapi isu-isu tentang gender.

Banyak gerakan dan ideologi feminis mengalami perkembangan selama bertahun-tahun hingga mewakili sudut pandang dan tujuan yang berbeda. Beberapa bentuk feminism telah dikritik karena hanya memperhitungkan perspektif kulit putih, kelas menengah, dan berpendidikan tinggi. Kritik ini mengarah pada penciptaan bentuk feminism yang spesifik secara etnis atau multikultural, termasuk black feminism dan intersectional feminism.

Feminis cenderung menolak kategorisasi feminism ke dalam aliran/cabang pemikiran yang lebih terstruktur. Feminis lebih memilih fenomena perkembangan feminism dengan label interdisipliner, intersectional, dan interlocking: feminism bukanlah ideologi monolitik dan tidak semua feminis berpikir sama. Label tersebut juga membantu menandai berbagai pendekatan, perspektif, dan kerangka kerja berbagai pemikiran feminis yang digunakan untuk membentuk penjelasan opresi kepada perempuan dan solusi yang diusulkan untuk menghapus situasi yang ada.

Karena begitu banyak teori hingga kontemporer feminis mendefinisikan dirinya sebagai reaksi melawan liberal tradisional feminis, maka liberalisme merupakan permulaan yang tepat untuk meninjau ulang akar pemikiran feminis. Liberal feminis menerima formulasi klasiknya dalam A Vindication Rights of Women karya Mary Wollstonecraft, The Subjection of Women  karya John Stuart Mill termasuk munculnya gerakan menuntut hak pilih perempuan pada abad ke-19. Pemicu utamanya adalah subordinasi perempuan dari serangkaian adat dan hukum yang menghalangi langkah perempuan untuk sukses di wilayah publik. Masyarakat pada saat itu dianggap memiliki keyakinan keliru perihal perempuan yang dipandang kurang intelektual dan memiliki fisik yang lemah dari laki-laki sehingga menyebabkan diskriminasi dalam dunia akademik, forum diskusi, maupun bisnis. Liberal feminis memandang perempuan seharusnya memiliki banyak kesempatan sukses di wilayah publik seperti halnya laki-laki. Keadilan gender, menurut cara pandang liberal feminis, mengharuskan kita untuk: pertama, membuat peraturan yang adil dan, kedua, memastikan bahwa dalam perebutan barang dan jasa tersebut tidak ada pihak yang dirugikan secara sistematis.

Tetapi apakah program liberal feminis cukup drastis dan dramatis untuk sepenuhnya menghilangkan opresi terhadap perempuan? Radikal feminis menyatakan: tidak cukup. Mereka berpendapat sistem patriarki ditandai oleh kekuasaan, dominasi, hierarki, dan kompetisi tidak dapat diubah. Usaha yang dilakukan selama ini hanya membuat perubahan dalam skala yang sangat sempit. Menurut radikal feminis, bukan hanya struktur hukum dan politik patriarki yang harus diruntuhkah, institusi sosial dan budaya (terutama keluarga dan agama) juga harus dimusnahkan.

Meskipun semua radikal feminis fokus tentang seks, gender, dan reproduksi sebagai awal untuk mengembangkan pemikiran feminis, beberapa dari radikal feminis mendukung androgini yaitu penekanan kesenangan dari seks (baik itu heteroseksual, lesbian, atau autoerotik) dan memandang perempuan--sebagai anugrah--tidak hanya bentuk reproduksi konservatif tapi juga reproduksi buatan. Sebaliknya, radikal feminis lainnya menolak androgini; menekankan bahaya seks (terutama hubungan seks heteroseksual); dan menganggap kodrat perempuan sebagai alat reproduksi adalah berbahanya baik secara konservatif maupun futuristik. Radikal feminis terpolarisasi menjadi dua kelompok: radikal-libertarian dan radikal-kultural feminis.

Sehubungan dengan isu-isu keadilan gender, radikal-libertarian feminis memberi respon bahwa jika--dalam kondisi tidak adil tersebut--laki-laki diharuskan untuk menunjukkan sifat-sifat maskulin saja, dan jika perempuan diharuskan untuk menunjukkan karakteristik feminin saja, maka jalan keluar dari keadaan ini adalah mengizinkan semua manusia menjadi androgini atau menunjukkkan semua karakter maskulin maupun feminin. Laki-laki harus diizinkan untuk mengeksplorasi dimensi feminin mereka, dan perempuan sebaliknya. Manusia harus merasakan keutuhan yang berasal menggabungkan sisi maskulin dan femininnya.

Tidak setuju dengan ide androgini sebagai strategi keadilan gender, radikal-kultural feminis menolaknya dengan mengajukan beberapa argumen. Pertama, pandangan anti-androginis yang menekankan keadilan gender bukan disebabkan sifat feminin, melainkan rendahnya penilaian yang diberikan patriarki untuk kualitas feminin seperti "kelembutan, kesederhanaan, kerendahan hati, dukungan, empati, belas kasih, kelembutan, pengasuhan, intuitif, kepekaan, tidak mementingkan diri sendiri”. Sementara selama ini sifat maskulin seperti "ketegasan, agresivitas, kekerasan, rasionalitas atau kemampuan untuk berpikir secara logis, abstrak dan analitis, kemampuan untuk mengendalikan emosi" dipercaya lebih berkualitas dibanding sifat feminin. Pendapat ini memberikan klaim bahwa jika masyarakat dapat belajar untuk menghargai sifat "feminin" sebagaimana sifat "maskulin", pelan tapi pasti opresi terhadap perempuan akan tinggal sejarah.

Kedua, anti-androginis lainnya bersikeras feminitas adalah masalah karena telah dibangun oleh laki-laki untuk tujuan patriarki. Demi kesetaraan gender, perempuan harus menolak feminitas karena telah sengaja dilekatkan untuk mereka sehingga perempuan harus memberikan definisi feminitas yang sama sekali baru. Feminitas seharusnya tidak lagi dipahami sebagai sifat-sifat yang menyimpang dari maskulinitas. Sebaliknya, feminitas harus dipahami sebagai cara hidup yang tidak memerlukan titik referensi eksternal diluar diri perempuan.

Ketiga, anti-androginis lainnya, kembali ke "teori alam," yang berpendapat bahwa terlepas dari pemberlakuan patriarki terhadap sifat feminin pada perempuan, pemberontakan terhadap karakteristik natural perempuan tersebut justru mencabut makna yang otentik dari definisi perempuan. Kebebasan utuh untuk seorang perempuan adalah kemampuannya untuk melepaskan diri sifat feminin yang artifisial demi kebermaknaan yang sejati.

Sulit untuk menjelaskan berbagai pemikiran radikal feminis secara utuh termasuk dalam hal seksualitas. Radikal-libertarian feminis berpendapat bahwa tidak boleh ada jenis pengalaman seksual tertentu yang dianggap sebagai metode seksualitas terbaik untuk perempuan. Setiap perempuan harus didorong untuk bereksperimen secara seksual dengan dirinya sendiri, dengan perempuan lain, dan dengan laki-laki. Meskipun heteroseksualitas bisa berbahaya bagi perempuan dalam masyarakat patriarki, perempuan harus tetap merasa bebas untuk mengikuti jejak keinginan mereka sendiri termasuk bekerjasama dengan laki-laki jika itu pilihan mereka.

Radikal-kultural feminis tidak setuju. Mereka menekankan bahwa melalui pornografi, pelacuran, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan pemukulan perempuan, foot binding, suttee, purdah, clitoridectormy, pembakaran penyihir, dan organ ginekologi, budaya patriarki telah mengendalikan seksualitas wanita untuk kesenangan laki-laki. Dengan demikian, supaya adil, perempuan harus melepaskan diri dari batasan heteroseksualitas dan menciptakan seksualitas perempuan secara eksklusif melalui selibat, autoerosisisme, atau lesbianisme. Hanya sendirian, atau dengan perempuan lain, sehingga perempuan dapat menemukan kesenangan sejati dari seks.

Pemikiran radikal feminis juga beragam dalam menanggapi isu-isu reproduksi. Radikal-libertarian feminis mengklaim perempuan sebagai ibu biologis telah menguras fisik dan psikologis diri mereka sendiri. Dengan demikian teknologi yang ada harus memberikan keleluasaan bagi perempuan untuk mencegah atau menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan, memiliki anak ketika mereka menginginkannya (pramenopause atau pascamenopause), dengan cara yang mereka inginkan (di dalam rahim mereka sendiri atau di rahim perempuan lain), dan dengan siapa mereka menginginkannya (laki-laki, perempuan, atau sendiri).

Radikal-liberal feminis memandang reproduksi lebih jauh dari radikal-kultural. Mereka melihat di masa depan ketika ektogenesis (kehamilan ekstrakorporeal dalam plasenta tiruan) sepenuhnya menggantikan proses alami kehamilan. Berlawanan dengan radikal-libertarian feminis, radikal-kultural mengklaim peran ibu biologis adalah sumber utama kekuatan perempuan. Dalam hal ini perempuan dapat menentukan apakah spesies manusia berlanjut. Perempuan harus menjaga dan merayakan kekuatan ini, karena tanpanya, penghormatan laki-laki terhadap perempuan akan lebih rendah daripada yang mereka miliki sekarang.

Tidak yakin dengan liberal dan radikal feminis terhadap keadilan gender, marxis-sosialis feminis mengklaim bahwa tidak mungkin bagi siapa pun, terutama perempuan, untuk mencapai kebebasan sejati dalam masyarakat berbasis kelas, di mana kekayaan yang dihasilkan oleh pihak lemah banyak berakhir di tangan segelintir pihak kuat.

Bersama Friedrich Engels, marxis feminis bersikeras penindasan perempuan berasal dari pengenalan properti pribadi sebagai institusi yang melenyapkan kesetaraan apa pun atas manusia. Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi oleh orang-orang yang relatif sedikit, yang semua adalah laki-laki, meresmikan sistem kelas yang perwujudan kontemporernya adalah kapitalisme korporat dan imperialisme. Refleksi pada keadaan ini menunjukkan bahwa kapitalisme itu sendiri (bukan hanya aturan sosial yang lebih besar yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan) adalah penyebab ketidakadilan terhadap perempuan. Jika semua perempuan— alih-alih hanya yang “luar biasa” —tak pernah ada untuk dibebaskan, sistem kapitalis harus diganti dengan sistem sosialis dimana alat-alat produksi menjadi milik semua orang. Sehingga secara ekonomis tidak terus tergantung pada laki-laki, perempuan akan sama bebasnya dengan laki-laki.

Sosialis feminis setuju dengan marxis feminis bahwa kapitalisme adalah sumber opresi terhadap perempuan. Mereka juga setuju dengan radikal feminis bahwa patriarki sumber opresi terhadap perempuan. Karena itu, cara untuk mengakhiri opresi terhadap perempuan bagi sosialis feminis adalah dengan delegitimasi patriarki kapitalis ataupun kapitalisme patriarkal. Termotivasi dengan tujuan ini, sosialis feminis berusaha mengembangkan teori yang menjelaskan hubungan antara kapitalisme dan patriarki.

Pada tahap awal pengembangan teori, sosialis feminis menawarkan konsep "dual sistem" untuk memberikan ilustrasi terhadap opresi yang dihadapi perempuan selama ini. Di antara teori-teori dual sistem ini adalah yang diteruskan oleh Juliet Mitchell dan Alison Jaggar. Dalam Women's Estate, Mitchell mengklaim bahwa kondisi wanita ditentukan tidak hanya oleh struktur produksi (seperti yang dipikirkan marxis feminis), tetapi juga oleh struktur reproduksi dan seksualitas (seperti yang diyakini radikal feminis), dan struktur sosial (seperti pendapat kaum liberal feminis). Mitchell menekankan bahwa status dan fungsi perempuan di semua struktur ini harus berubah jika perempuan ingin mencapai pembebasan penuh. Dalam analisis akhir Mitchell memberi keunggulan kapitalisme atas patriarki sebagai musuh terburuk perempuan.

Seperti Mitchell, Alison Jaggar berusaha mencapai sintesis di antara keduanya, marxisme dan radikal feminis. Dengan mengakui bahwa semua perspektif feminis mengakui tuntutan yang saling bertentangan sebagai istri, ibu, anak perempuan, kekasih, dan pekerja, Jaggar bersikeras bahwa sosialis feminis merupakan metode unik karena upaya terpadu untuk saling mengaitkan berbagai bentuk opresi terhadap perempuan. Dia menggunakan konsep alienasi untuk menjelaskan bagaimana, di bawah kapitalisme, semua hal (pekerjaan, seks, permainan) dan semua orang (keluarga anggota dan teman-teman) bisa menjadi sumber kekuatan perempuan ketika masyarakat justru memandang hal-hal tersebut menjadi sebab kelemahan perempuan. Bersama dengan Mitchell, Jaggar bersikeras hanya ada penjelasan kompleks untuk subordinasi perempuan. Namun, berbeda dengan Mitchell, Jaggar menyebut patriarki dan bukannya kapitalisme sebagai kejahatan terburuk yang dialami perempuan.

Setelah Mitchell dan Jaggar, kelompok lain dari sosialis feminis bertujuan untuk mengembangkan penjelasan baru tentang penindasan perempuan dengan tidak mengaitkan kapitalisme atau patriarki sebagai sumber utama terbatasnya kesejahteraan dan kebebasan perempuan. Iris Marion Young, Heidi Hartmann, dan Sylvia Walby menyusun penjelasan yang memandang kapitalisme dan patriarki sebagai sesuatu yang interaktif. Dalam rangka memfokuskan subjek penelitian untuk menambah maupun mengeliminasi hipotesis, para pemikir ini berusaha menjawab pertanyaan apakah kapitalisme akan tetap eksis jika sistem patriarki punah atau patriarki akan tetap eksis jika sistem kapitalisme lenyap. Meski teori-teori mereka terkesan sulit dipahami, Young, Hartmann, dan Walby sebagaimana pendahulu mereka Mitchell dan Jaggar — mendorong kaum feminis untuk membahas berbagai masalah terkait dengan pekerjaan perempuan yang tidak dibayar, kurang dibayar, atau tidak dihargai.

Sejauh ini fokus feminis liberal, radikal, dan sosialis-marxis lebih berorientasi makrokosmos (sistem baik patriarki maupun kapitalisme) untuk menjelaskan opresi terhadap perempuan, di sisi lain psikoanalitik feminis membahasnya dalam tataran mikrokosmos (individu). Psikoanalitik feminis mengklaim akar dari opresi terhadap perempuan tertanam jauh di dalam jiwanya sendiri. Awalnya, psikoanalitik feminis fokus pada pekerjaan Sigmund Freud dalam mencari penjelasan yang lebih baik dalam memahami peran seksualitas terhadap opresi perempuan. Menurut Freud, pada tahap pra-Oedipal, semua bayi secara simbiotik melekat pada ibu mereka, (yang mereka anggap mahakuasa). Namun, hubungan ibu-bayi bersifat ambivalen: kadang-kadang ibu memberi terlalu banyak — kehadiran mereka luar biasa — tetapi lain kali ibu memberi terlalu sedikit — ketidakhadiran mereka mengecewakan.

Tahap pra-Oedipal berakhir dengan apa yang disebut Oedipal complex, proses di mana anak lelaki melepaskan objek cinta pertamanya, sang ibu, untuk mencari kastrasi diri kepada ayah. Sebagai aktualisasi id (keinginan) terhadap superego (kesadaran sosial kolektif), maka anak laki-laki akan terintegrasi sepenuhnya ke dalam budaya. Bersama dengan ayahnya, anak laki-laki akan merasa kuasa atas alam dan perempuan (yang keduanya dianggap sama-sama irasional).

Berbeda dengan anak laki-laki, seorang gadis, perlahan berpisah dengan objek cinta pertamanya, sang ibu. Berhadapan dengan kuasa laki-laki maka integrasi gadis itu ke dalam budaya menjadi tidak utuh. Gadis ada di pinggir sebagai pihak yang tidak memerintah tetapi diperintah, terutama karena (menurut Dorothy Dinnerstein) takut akan irasionalitas.

Karena Oedipus complex adalah akar dari kekuasaan laki-laki, atau patriarki, beberapa psikoanalitik feminis berspekulasi bahwa Oedipus complex tidak lebih dari produk imajinasi laki-laki sebagai jebakan psikis dimana setiap orang, terutama perempuan, harus berusaha melarikan diri. Pandangan keberatan terhadap pemikiran ini menyatakan bahwa kecuali masyarakat siap untuk masuk kembali ke dalam keadaan kacau, masyarakat harus menerima beberapa versi dari Oedipus complex sebagai pengalaman yang mengintegrasikan individu ke dalam masyarakat.

Dalam beberapa versi Oedipus complex, penelitian Sherry Ortner mencatat, masyarakat tidak perlu menerima versi Freudian, dimana kualitas otoritas, otonomi, dan universalisme selalu dilabelkan terhadap laki-laki, sedangkan cinta, ketergantungan, dan partikularisme adalah label pada perempuan. Label-label ini menurut Ortner, dimaksudkan untuk menegakkan hak istimewa laki-laki atas perempuan, padahal anggapan ini bukanlah inti dari konsep Oedipus complex. Ortner menilai anggapan tersebut hanyalah konsekuensi dari pengalaman aktual seorang anak dengan laki-laki dan perempuan. Ortner menyimpulkan perlunya pengasuhan ganda (seperti yang direkomendasikan juga oleh Dorothy Dinnerstein dan Nancy Chodorow) dan partisipasi ganda dalam angkatan kerja. Hingga pengasuhan dan partisipasi ganda ini akan mengubah hak masing-masing gender dari Oedipus complex. Otoritas, otonomi, dan universalisme tidak lagi menjadi hak eksklusif laki-laki; cinta, ketergantungan, dan partikularisme tidak lagi menjadi hak eksklusif perempuan.

Tidak yakin bahwa pengasuhan dan partisipasi ganda dalam angkatan kerja dapat mengubah hak masing-masing gender dari Oedipal complex, generasi baru psikoanalitik feminis beralih ke ahli teori seperti Jacques Lacan untuk menyelami wawasan aspek psikoseksual yang menghasilkan "laki-laki" dan "perempuan" adalah "feminin" dan "maskulin," "heteroseksual" dan "lesbian," dan seterusnya. Para pakar seperti Luce Irigaray dan Julia Kristeva mengklaim bahwa feminis telah menghabiskan terlalu banyak waktu untuk fokus pada ranah Oedipal dan tidak memiliki waktu yang cukup pada domain pra-Oedipal. Domain ini, sering disebut sebagai Imaginary, adalah domain yang seharusnya ditinggalkan bayi di belakang sehingga mereka dapat memasukkan tatanan simbol, ranah bahasa, aturan, dan peradaban. Tapi, tanya Irigaray dan Kristeva, mengapa harus perempuan yang meninggalkan Imaginary sehingga mereka kemudian rentan ditindas dan ditekan tatanan simbol patriarki? Kenapa justru tidak tinggal di Imaginary sehingga perempuan leluasa menikmati sukacita? Mengapa manusia tidak tetap teridentifikasi dengan milik cinta pertama, ibu, dan berkembang dengan cara baru berbicara dan menulis (sebagai pelajaran subyektivitas untuk manusia) yang tidak mengarah pada penindasan perempuan? Mengapa menjalani kehidupan dengan syarat yang dibangun laki-laki?

Dalam edisi-edisi awal buku Feminist Thought, Tong memasukkan para pemikir seperti Carol Gilligan dan Nel Noddings ke dalam psikoanalitik feminis karena minat mereka psikologi perempuan. Tetapi Tong kemudian mengoreksi bahwa Gilligan dan Noddings bukan jenis pemikir yang sama dengan yang saat ini saya digolongkan sebagai psikoanalitik feminis. Yang membedakan Gilligan dan Noddings dari psikoanalitik feminis, dan apa yang menghubungkan mereka dengan pemikir feminis seperti Sara Ruddick, Virginia Held, dan Eva Feder Kittay, adalah fokus mereka pada sifat dan praktik kepedulian. Pada umumnya, perempuan dianggap selalu berkaitan dengan emosi dan tubuh, dan pria dengan akal dan pikiran, tetapi feminis yang berfokus pada kepedulian (care-focused feminist) berusaha untuk memahami mengapa perempuan sebagai sebuah kelompok biasanya dihubungkan dengan saling ketergantungan, komunitas, dan koneksi, sedangkan laki-laki sebagai kelompok biasanya dikaitkan dengan kemandirian, kedirian, dan otonomi.

Para pemikir ini menawarkan berbagai penjelasan mengapa masyarakat membagi realitas menjadi hal-hal "feminin" dan hal-hal "maskulin." Tapi apa pun penjelasan mereka untuk identitas dan perilaku gender laki-laki dan perempuan yang berbeda, mereka menganggap kapasitas perempuan secara hipotetis lebih besar untuk pengasuhan sebagai kekuatan, sedemikian rupa sehingga pemikir-pemikir ini cenderung mengistimewakan pendekatan feminis terhadap etika kepedulian gender dibanding etika keadilan gender yang selama ini lebih populer di Barat. Selain itu, feminis yang berfokus pada kepedulian memberikan penjelasan yang sangat baik tentang mengapa perempuan sebagai kelompok secara tidak proporsional memikul beban kepedulian di hampir semua masyarakat, dan mengapa pria sebagai kelompok tidak secara rutin melakukan praktik kepedulian. Akhirnya, feminis yang berfokus pada kepedulian memberikan rencana dan kebijakan untuk mengurangi beban pengasuhan pada perempuan sehingga perempuan memiliki banyak waktu dan energi seperti laki-laki sehingga dapat mengembangkan dirinya sebagai manusia yang utuh.

Sebagaimana semua kelompok feminis yang terdahulu, multikultural-global-postkolonial feminis fokus pada penyebab dan penjelasan subordinasi perempuan terhadap laki-laki di seluruh dunia. Kontribusi utama kelompok ini terhadap pemikiran feminis adalah komitmen kuat mereka untuk menyoroti perbedaan yang ada di antara perempuan dan cara mengidentifikasi beragam jenis perempuan. Meskipun keberagaman perempuan juga dapat diwakilkan pada sebuah aliansi, multikultural-global-postkolonial feminis tetap berpendapat bahwa ras, etnis, identitas seksual, identitas gender, usia, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan / profesi, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan seterusnya, justru dapat memisahkan satu kelompok perempuan dari yang lain. Mereka bertujuan mengungkapkan bagaimana faktor-faktor kontekstual membentuk pemahaman diri perempuan sebagai makhluk tertindas atau tidak tertindas. Mereka juga berusaha membantu kaum feminis menolak baik esensialisme perempuan (pandangan bahwa semua perempuan sama) dan chauvinisme perempuan (pandangan bahwa perempuan istimewa harus menempatkan diri mereka untuk berbicara atas nama perempuan secara keseluruhan).

Meskipun istilah "multikultural," "global," dan "postkolonial" sering kali digunakan secara bergantian untuk menggambarkan kaum feminis yang fokus pada beragam problem sosial perempuan, konteks budaya, ekonomi, dan politik,  istilah "multikultural" menunjukkan feminis yang fokus pada detail perbedaan yang ada di antara wanita yang hidup dalam batas-batas negara-bangsa maupun wilayah geografis. Di sisi lain, istilah "global" atau "postkolonial" menunjukkan feminis yang fokus pada  garis besar kehidupan perempuan di sebagian besar negara berkembang yang umumnya lebih buruk daripada kehidupan perempuan di sebagian besar negara maju. Para feminis ini memberikan tantangan perempuan di negara maju untuk mengakui bahwa banyak hak istimewa mereka dibeli dengan mengorbankan kesejahteraan perempuan di negara berkembang. Yang sayangnya hingga saat ini, efek dari kampanye kolonialisasi abad ke-19 dan ke-20 masih terasa di Dunia Ketiga.

Betapapun perhatian multikultural, global, dan postkolonial feminis mengenai kompleksitas hubungan manusia satu sama lain, mereka tidak fokus, pada hubungan manusia dengan dunia bukan manusia. Dalam banyak hal, ekofeminis menawarkan  relasi paling luas dari konsep feminis yang selama ini ada dan juga yang konsepsi yang paling menuntut hubungan keterbukaan individu terhadap lingkungan sosialnya. Menurut ekofeminis, manusia tidak hanya terhubung secara individual satu sama lain tetapi juga dengan hewan dan bahkan tumbuhan. Sayangnya, manusia tidak selalu mengakui tanggung jawab sosialnya, apalagi terhadap ekosistem secara keseluruhan. Akibatnya, manusia menghabiskan sumber daya bumi dengan mesin, mencemari lingkungan dengan asap beracun, dan menciptakan senjata pemusnah massal. Dengan melakukan itu, manusia menipu diri sendiri bahwa manusia mengendalikan alam dan meningkatkan daya hidupnya. Faktanya, kata ahli ekologi Ynestra Raja, alam sudah memberontak, dan setiap hari diri manusia dimiskinkan. Namun hutan "dimusuhi" dan spesies binatang pun perlahan punah. Satu-satunya cara untuk tidak menghancurkan diri kita sendiri, menurut ekofeminis, adalah untuk memperkuat kita hubungan tidak hanya dengan satu sama lain tetapi juga dengan lingkungan dan alam.

Menantang semua versi feminisme yang telah mendahuluinya, postmodern feminis dan third-wave feminis mendorong feminisme ke definisi baru. Postmodern feminis berkeras bahwa “perempuan” bukanlah tafsir tunggal. Sehingga hal ini menimbulkan masalah bagi teori dan tindakan feminis (jika perempuan tidak ada sebagai kelas atau kelompok atau kolektivitas, sulit untuk melawan penindasan). Meskipun demikian, pemahaman tersebut menambahkan bahan bakar yang diperlukan untuk tafsir feminis secara plural, multidisiplin, dan divergen. Terlebih lagi, penolakan postmodern feminis terhadap cara pikir yang tersekat-sekat membantu kaum feminis berbicara dan menulis dengan cara mereduksi biner oposisi pemikiran patriarki tradisional. Postmodern feminis menghapus garis antara maskulin dan feminin, jenis kelamin dan gender, laki-laki dan perempuan. Mereka berusaha untuk memecah konsep yang telah mencegah perempuan mendefinisikan diri mereka dalam istilah mereka sendiri terlepas dari yang selama ini ada dalam persepsi laki-laki.

Third-wave feminis (yang ingin membentuk new-millenium feminism) mendorong keadilan sebagaimana yang dilakukan postmodern feminis untuk memikirkan kembali kategori "perempuan". Bagi para third-wave feminis, keberagaman adalah wajah dunia apa adanya. Konflik dan bahkan kontradiksi adalah jalan yang harus dilalui ketika perempuan mencari identitas baru diri mereka sendiri dan membangkitkan apa yang disebut Judith Butler "relasi gender". Namun terhadap semua perbedaan yang ada dari pemikiran sebelumnya, third-wave feminists tidak memiliki niat untuk berpikir, berbicara, atau menulis sendiri perihal perempuan diluar eksistensi yang ada selama ini. Sebaliknya, mereka bertujuan untuk menjawab "pertanyaan perempuan" -Siapa dia dan apa yang dia inginkan? —dalam cara yang belum pernah dijawab sebelumnya.

Jelas, penjelasan di atas merupakan tantangan besar bagi feminisme kontemporer untuk merekonsiliasi tekanan keberagaman dan perbedaan diantara mereka. Meskipun demikian, feminis kontemporer tidak gentar menghadapi tantangan ini. Tampaknya setiap waktu, kita lebih memahami alasan mengapa perempuan di seluruh dunia adalah "jenis kelamin kedua" dan bagaimana mengubah keadaan ini. Dalam cetakan ketiga Feminist Thought, Tong telah mencoba membahas kelemahan serta kekuatan masing-masing perspektif feminis di atas. Masing-masing perspektif feminis telah membuat kontribusi yang kaya untuk pemikiran feminis. Meski semua perspektif feminis tidak bisa sama benarnya, namun bukan berarti feminisme harus terdefinisikan secara final. Sebaliknya selalu ada ruang untuk pertumbuhan, peningkatan, pertimbangan kembali, dan perluasan untuk pemikir feminis sejati. Dan ruang tersebut membantu pemikir feminis bebas dari perangkap otoriter karena harus mengetahui semuanya.

No comments:

Post a Comment