Gambar ambil di sini.
Ini tentang perjalanan saya membersamai PCO. Sampai sekarang, 2 tahun menikah saya masih mengharapkan keturunan. Pengalaman ini mungkin belum patut dicontoh. Adapun sasaran saya selama perjalanan ini adalah 'kepala yang jernih' dan 'kebijaksaan yang lapang' (that's why my name is sophia...ejieeeehhh...) . Hanya itu. Tapi tak ada salahnya berbagi.
Awalnya...
Perjalanan diawali tahun 2009, bulan November. Bertarung dengan sidang akhir dan ujian khusus membuat siklus bulanan sempat tidak terperhatikan. Hingga Februari 2010 wisuda pun masih teralihkan dengan hal lain. Hingga seterusnya masih rumit memikirkan kelanjutan hidup di rantau. Pulang, tak bisa, biaya pindah terlalu besar. Pekerjaan masih serabutan, tidaklah mudah meminta subsidi orang tua. Dan seterusnya hingga sadar-sadar curiga: memang sih, biasanya siklus panjang tapi apa harus nunggu sampai setahun penuh baru memeriksakan diri?
Biaya. itu yang pertama kali terpikirkan. Mungkin bisa menyampaikan ke orang tua, tapi mereka selalu tidak bisa untuk tidak rempong. Daripada ditanya macam-macam dan sulit menjawab, saya diam-diam saja sambil tanya kanan-kiri barangkali ada yang pernah bernasib sama. Kesimpulannya: mereka segera memeriksakan diri, tidak sampai selama apa yang saya alami. Saya tidak pernah menunjukkan tampang khawatir, memang. Saya juga tidak berpikir akan menikah dalam waktu dekat (kenyataannya lain). Ini bisa diatasi kelak kalau sudah mampu mandiri, pikir saya. Tapi semenjak biodata saya diminta, masalah reproduksi pun terpikirkan kembali, Dengan biaya seadanya saya berjalan ke RSHS, berharap ada pencerahan.
Sampai di sana dokter belum bisa menyimpulkan apa yang sebenarnya saya alami. Maklum, masih gadis. Dokter memberi obat, sepertinya peluruh semacam provera dan setelah itu siklus normal lagi. Berucap hamdalah, dan saya tidak lagi mengunjungi DSOG. Beberapa bulan setelahnya, saya menikah.
Next?
Melihat beberapa teman bahagia-haru dengan 'calon' status baru-nya sebagai ibu, ada semilir angin sepi dari hari-hari yang saya jalani. Riuh rendah status-komen di jejaring sosial ntah takjub, meledek, menghibur, atau dzikir-doa hilir-mudik berganti-ganti. Dan riuh rendah itu tak mampir ke kehidupan saya. Sunyi. Betul, kontradiktif. Mengapa dunia maya menjadi sesuatu yang 'nyata' untuk diri kita?
Kondisi ini bukannya tidak berpengaruh ke kehidupan keluarga baru saya. Dua orang yang benar-benar baru saling mengenal sudah ditantang untuk membangun komunikasi saat salah satunya mendapat musibah. Sebagai perempuan, kesejatian ditanyakan. Semua memang tak terucap tapi entah mengapa sangat terasa. Dan sunyi semakin menjadi-jadi ketika sadar saya (perempuan) lah awal mula ini semua.
Pasangan menganjurkan hal yang sangat baik, jika merasa tak ada sandaran, tak ada teman, tak ada perhatian berbincanglah dengan Yang Maha Mendengarkan. Sejak awal beliau sudah menghindarkan diri sebagai satu-satunya harapan. Itu benar, mengapa kita bergantung dengan manusia yang kerap khilaf? Sebagai perempuan pertama kali mendengar ini, agak sulit. Meninggalkan orang tua, kampung halaman, dan teman-teman untuk mendampingi seorang lelaki lalu mengapakah akhirnya justru dibiarkan sendiri?
Rasanya cukup lama saya berkompromi dengan keadaan. Ketika DSOG pertama yang saya kunjungi setelah menikah menyatakan diagnosa PCO, kepala saya mendadak sulit diajak berpikir rasional. Sulit juga mencari penjelasan detail mengenai PCO. Setelah diagnosa PCO, lalu apa selanjutnya? Saya rasa, tak ada yang bisa menjawab dan tak banyak juga yang paham. Petunjuk satu-satunya: second opinion. Saya yang selama ini tak peduli medis (sangat jarang ke dokter, badan tak enak, minum madu kemudian sembuh) mendadak jungkir balik membuka-buka referensi.
Second Opinion
DSOG ini saya pilih karena apa, ya? Kalau tidak salah ingat, ini rekomendasi dari suami. Iya, ibu-ibu dan berpraktik di beberapa klinik dan rumah sakit. Sempat sedikit-sedikit membaca blog-nya dan Bismillah, saya ke sana dengan suami.
Saya datang ke klinik. Mendapat antrian nomor 34, eh, tapi kok sepertinya yang ada di situ tidak sampai 30an pasien? Menunggu, makin lama makin ramai. Ternyata antrian berdasarkan jam daftar ulang. Kebanyakan pasien mengambil nomor lalu pulang lagi atau menunggu entah dimana sampai jam antrian kira2 sudah mendekati urutan miliknya. Baiklah, saya menunggu hingga baru masuk pukul 21.00 (saya kesana jam 16.00). Sampai di ruangan, saya menyerahkan diagnosa dokter sebelumnya dan menyampaikan keluhan saya. Diminta cek urin ke pos laboratorium, lalu masuk ruangan praktek lagi untuk USG. Dokter belum bisa memastikan apakah diagnosa dokter sebelumnya benar. Saya pun diminta cek darah. Diresepkan peluruh, untuk kemudian diberi jadwal konsultasi berikutnya.
Setelah mendapatkan hasil cek darah dari Pro*ia dan obat peluruh telah selesai bekerja, saya kembali lagi ke dokter. Dokter membaca hasilnya dengan serius, lalu saya diresepkan metformin yang harus diminum 3x sehari. Diberikannya lagi lembar cek darah untuk kemudian diminta berkonsultasi bulan depan. Sekali ini saya perlu minum obat cukup banyak tanpa indikasi gangguan kesehatan. Errr, amenorae memang sih agak aneh tapi saya segar bugar tak ada keluhan yang menghambat aktivitas.
Konsultasi ini berlangsung beberapa kali hingga sisa metformin di rumah cukup banyak. Setelah itu saya berhenti konsultasi. Barangkali saya tidak cukup sabar, sebab beberapa kali siklus masih juga tersendat. Sedemikian banyak resep yang harus ditebus rasanya ada yang kurang sreg, belum lagi pemeriksaan lab yang berulangkali menguras kantong. Bahkan hingga kesekian kali saya belum menemukan apa langkah-langkah dokter menghadapi keluhan ini. Agak susah ternyata melangkah tanpa gambaran yang jernih: mau dibawa kemanaaa hubungan kitaaaa?
Setelah itu, saya amenorae lagi selama 9 bulan. Selain ingin mengendapkan kelinglungan, saya juga nge-tes suami apakah cukup aware terhadap kondisi ini. Hasilnya ya, 9 bulan itu dibiarkan berlalu begitu saja hahah :D Nyeuri hate? Jangan tanya. Pasti itu. Nyesek, tapi masih coba berpikir apa sebaiknya dilakukan. Kembali ke DSOG atau ke ahli nutrisi saja didampingin psikiatri? Kenapa ahli nutrisi? Kenapa psikiatri? Masalah ini dilihat-lihat lebih ke arah hormon. Target saya tentu saja normal seperti wanita lainnya (selama ini agak terlalu maskulin sepertinya hahah). Siklus bulanan terbenahi. Itu saja. Tapi dari segi biaya, ini agak tidak bisa diprediksi. Belum lagi, mencari nutritionist dan psikiatri perempuan, hadeh, sedikit rekomendasi yang didapat. Akhirnya cari alternatif lain, baiklah. Intinya mencari praktek dokter yang nyaman dari segi pelayanan, kebersihan dan tentu saja masalah antrian. Kenapa? Ya, sudah datang dengan kepala suntuk, rasanya tak perlu ditambah pelayanan klinik/RS dan dokter yang seadanya (saya emosian soalna). Apalagi antrian panjang...hoaaahh...sudahlah menunggunya sedemikian membosankan, masuk ke ruang praktek dokter sudah kelelahan (benar-benar tidak optimal).
Cerita DSOG berikutnya bersambung, ya....
No comments:
Post a Comment