Halaman 22: Female Matters (3): Konsep Liberal

Gambar ambil di sini.

Disclaimer: tulisan ini digunakan untuk pembelajaran pribadi yang merupakan saripati dari Bab Pertama buku Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction karya Rosemarie Tong. Materi yang disusun ini bukan merupakan hasil kajian analitikal maupun materi literasi untuk umum, namun tidak lebih hanya sebagai upaya meningkatkan wawasan pribadi. Simpulan akhir penulis terhadap karya tersebut bisa saja lain dari yang tertulis di sini.

Pemikiran politik liberalism yang diikuti oleh liberal feminism tengah mengalami peninjauan ulang konsep, struktur dan rumusan pemikiran dari yang secara umum difahami selama ini. Transformasi yang terus menerus berlangsung menyebabkan sulitnya menentukan kesimpulan yang tepat dari pemikiran liberal feminis. Karena itu, jika kita ingin mengukur keakuratan klaim kampanye Susan Wendell (dimana liberal feminism sebagian besar telah melampaui serangkaian definisi ulang) yang pertama-tama harus kita pahami adalah asumsi mengenai  klasik liberalism dan welfare liberalism. Dalam pembahasan nanti mungkin bisa kita telusuri bahwa ternyata liberal feminis hanya mengambil ide "liberal" hanya dalam beberapa hal.

Dalam Feminist Politics and Human Nature, Alison Jaggar mengamati bahwa politik liberal umumnya menempatkan keunikan manusia dalam kapasitasnya untuk berpikir dan bertindak secara rasional. Keyakinan bahwa akal membedakan kita dari hewan lain adalah pendorong liberalis untuk merumuskan kehendak rasional tersebut dalam berbagai cara, baik aspek etika maupun moral. Pada saat kehendak didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami prinsip-prinsip moral yang rasional, maka hak otonomi individu yang mendapatkan penekanan. Sebaliknya, ketika kehendak didefinisikan sebagai kemampuan untuk menentukan cara terbaik untuk mencapai keinginan, maka kepuasan yang mendapatkan penekanan.

Ketika liberalis mendefinisikan kehendak sebagai moral atau kebajikan, mereka sependapat bahwa masyarakat yang adil memungkinkan individu untuk memilki hak otonomi untuk memuaskan diri mereka sendiri. Liberalis mengklaim bahwa "hak" harus diprioritaskan daripada "kebajikan". Dengan kata lain, sistem yang menjamin hak-hak individu dibenarkan karena di dalamnya semua orang dapat memilih kehendaknya masing-masing, dengan catatan tidak dengan menghilangkan kehendak pihak lain. Prioritas semacam ini termasuk juga dalam membela kebebasan beragama yang menurut liberalis tidak memerlukan alasan tertentu tetapi hanya dengan rasionalisasi bahwa setiap orang memiliki hak untuk mempraktikkan religiusitas mereka sendiri. Hal ini berlaku sama untuk semua hak-hak fundamental.

Ketentuan bahwa hak diprioritaskan daripada kebijakan mempersulit konsep pembangunan masyarakat yang adil. Faktanya sumber daya terbatas dan setiap individu cenderung memiliki ketertarikan untuk mendapatkan sebanyak mungkin sumber daya yang tersedia. Hal ini akan menjadi tantangan rumit untuk menciptakan institusi politik, ekonomi, dan sosial yang memaksimalkan kebebasan individu tanpa membahayakan kesejahteraan sosial.

Ketika merumuskan intervensi negara di ruang pribadi,  liberalis setuju bahwa semakin sedikit penguasa terlihat di ruang-ruang privat semakin baik. Menurut liberalis semua manusia membutuhkan tempat-tempat di mana dapat melepaskan aku-sosial dan menjadi aku-personal. Sedangkan pandangan tentang intervensi negara dalam ruang publik memunculkan perbedaan pendapat di antara liberal klasik atau libertarian di satu sisi dan sosal-egaliter di sisi lain.

Liberal klasik berpikir negara harus membatasi diri untuk melindungi kebebasan sipil (misal: hak properti, hak suara, kebebasan berbicara, kebebasan agama, kebebasan berserikat). Mereka juga berpikir alih-alih mencampuri pasar, negara harus menyediakan kesempatan yang setara bagi setiap warga negara untuk menentukan posisinya sendiri dalam pasar. Sebaliknya, liberalis klasik percaya bahwa negara harus fokus pada disparitas ekonomi serta kebebasan sipil. Mereka melihat individu memasuki pasar dengan perbedaan berdasarkan keunggulan awal, bakat bawaan, dan keberuntungan saja. Kadang-kadang, perbedaan-perbedaan ini begitu besar sehingga beberapa individu tidak dapat menerima bagian dengan adil dari apa yang ditawarkan pasar kecuali beberapa penyesuaian dilakukan dibuat untuk mengimbangi kewajiban mereka. Oleh karena itu liberalis klasik menyerukan intervensi pemerintah dalam ekonomi seperti hukum layanan, pinjaman sekolah, kupon makanan, perumahan murah, kesehatan, jaminan sosial, dan bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan sehingga pasar tidak bisa melanggengkan atau memantapkan ketidaksetaraan.

Meskipun aliran pemikiran klasik-liberal dan welfare-liberal muncul dalam pemikiran liberal feminis, sebagian besar liberal feminis kontemporer tampaknya lebih menyukai welfare-liberalism. Bahkan, ketika Susan Wendell menggambarkan pemikiran liberal feminis kontemporer, dia menekankan "committed to major economic re-organization and considerable redistribution of wealth, since one of the modern political goals most closely associated with liberal feminism is equality of opportunity, which would undoubtedly require and lead to both”. Sangat sedikit liberal feminis kontemporer yang mendukung penghapusan jaring pengaman sosial yang didanai pemerintah untuk anggota masyarakat paling rentan.

Karena hampir tidak mungkin untuk membahas semua pemikir feminis liberal, dan organisasi dalam satu buku, fokus bahasan hanya pada Mary Wollstonecraft, John Stuart Mill, Harriet Taylor (Mill), gerakan hak pilih perempuan di Amerika Serikat, Betty Friedan, dan organisasi nasional untuk perempuan. Tujuannya adalah membangun argumen yang meyakinkan bahwa sepanjang kemunculannya secara keseluruhan visi liberal feminis adalah menciptakan "masyarakat yang setara dan gembira di mana kebebasan dirayakan”. Hanya dalam masyarakat seperti itu perempuan dan laki-laki dapat berkembang dengan setara.

Reaksi terhadap keterbatasan liberal feminis antara lain dengan penolakan karena liberal feminis hanya terbatas pada gerakan borjuis kulit putih. Ellen Willis dalam artikelnya tahun 1975 “The Conservatism of Ms” mengkritik majalah Ms. (publikasi liberal feminis yang paling dikenal luas) karena memaksakan pseudofeminis. Setelah menjelaskan panjang lebar garis, Willis mencatat pesan yang intinya penolakan terhadap kebutuhan mendesak perempuan untuk menggulingkan patriarki dan kapitalisme serta menegaskan kemampuan yang seharusnya dibuat perempuan dalam "sistem". Apa pun yang ditawarkan Ms. kepada perempuan, desak Ellis, bukan feminism.

Namun self improvement maupun filosofi liberalisasi individu yang ditawarkan Ms. hanya relevan untuk para elit; dicurigai hanya merupakan bentuk baru dari majalah fantasi perempuan. Padahal alih-alih perempuan seksi atau ibu rumah tangga yang sempurna, masyarakat sekarang memiliki gambar yang baru secara umum: perempuan yang merdeka. Fantasi perempuan dalam publikasi Ms. dapat disalah diartikan sebagai feminism yang menyesatkan sebagian perempuan untuk meyakinkan yang lain bahwa liberalisasi perempuan tidak ada hubungannya secara sosial dan menentang setiap perubahan nyata dalam kondisi perempuan.

Saat itu kritik Willis mungkin tepat sasaran, tetapi Ms. berubah sejak pertengahan 1970-an. Editornya
telah menampilkan artikel yang menunjukkan, misalnya, bagaimana classism, rasism, dan heteroseksism memiliki persinggungan dengan seksism yang menggandakan, melipattigakan dan bahkan melipatgandakan opresi terhadap beberapa perempuan. Terlebih lagi, kaum liberal feminis telah bergerak jauh dari kepercayaan tradisional mereka bahwa setiap perempuan yang ingin membebaskan dirinya "secara individual" perlu "membuang" pengkondisiannya dan "secara sepihak" menolak “keperempuanan”. Mereka sekarang percaya bahwa mencapai tujuan seperti "menciptakan kesempatan kerja yang setara bagi perempuan" memerlukan lebih dari upaya perempuan secara individu. Tujuan tersebut membutuhkan upaya seluruh masyarakat yang berkomitmen untuk “memberi anak perempuan dan laki-laki pendidikan awal yang sama dan mengakhiri prasangka seks, yang pada gilirannya akan membutuhkan kontribusi besar dalam sumber daya dan perubahan besar dalam kesadaran”. Kesetaraan seksual tidak mungkin terjadi jika hanya melalui kemauan perempuan secara individu. Kesetaraan tersebut menuntut perubahan besar dalam struktur sosial dan psikologis terdalam seseorang.

Dalam sebuah artikel 2002 berjudul "Essentialist Challenges to Liberal Feminism" Ruth E. Groenhout berpendapat bahwa feminis diluar liberal feminism harus mempertimbangkan kembali penolakan mereka terhadap liberalism. Secara khusus, dia berpendapat bahwa pandangan liberal tentang sifat manusia tidak seburuk dengan kampanye Jaggar dan Elshtain. Seperti yang dipahami Groenhout, gambaran liberal tentang sifat manusia mengandung aspek krusial dari analisis perempuan tentang kejahatan opresi seksual.

Opresi seksual maupun sistem sosial yang melanggengkan opresi seksual adalah kejahatan moral karena membatasi atau menyangkal kemampuan perempuan untuk merenungkan dan menentukan kehidupan mereka sendiri. Seksism juga menyebabkan kerusakan tak terukur bagi masyarakat dimana konsekuensi yang muncul juga menjadi bagian dari kejahatan yang ditimbulkannya dan seksism akan tetap salah meski tidak menghasilkan pemiskinan atau kekerasan seksual terhadap perempuan. Salah karena memperlakukan beberapa manusia sebagai produk cacat dan membatasi kebebasan mereka untuk bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri.

Dalam beberapa cara mungkin liberal feminis merintis jalan yang menyesatkan bagi perempuan. Namun demikian, feminism berhutang pada liberal feminis atas kebebasan sipil, pendidikan, pekerjaan, dan hak reproduksi yang mereka nikmati saat ini. Mereka juga berhutang kepada liberal feminis atas perjalanan yang semakin nyaman di domain publik. Barangkali, sudah cukup waktu bagi para feminis yang memberikan kritik pada feminisme liberal untuk mempertimbangkan kembali kecaman mereka terhadapnya.

No comments:

Post a Comment