Tulisan ini tak lain sebagai catatan diskusi dalam proses pengupayaan diri ini bertemu referensi yang lebih shahih. Dalam penulisan, saya juga mendoakan mudah-mudahan yang menyimak tulisan ini berjodoh dengan guru-guru terbaik yang bisa membantu membenahi amalan-amalan yang rentan salah arah dan tujuan.
Dari berbagai buku terjemahan Arbain An Nawawiyah, buku Ad Durrah as-Salafiyyah Syarah al-Arba'in an Nawawiyah yang ditulis oleh Abdullah Sayyid sebagai rangkuman atas syarah (penjelasan) hadist-hadist Arba'in Imam an-Nawawi, Ibnu Daqiq, Abdurrahman as-Sa'di dan Muhammad al-Utsaimin adalah yang paling saya suka karena sangat detail. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Darul Haq dengan penerjemah Ahmad Syaikhu. Semoga Allah melimpahkan keridhaannya pada mereka semua. Sungguh saya yang faqir ilmu berterimakasih pada mereka.
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin al-Khattab, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda, Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang (berniat) hjrah kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang (berniat) hijrah karena dunia yang bakal diraihnya atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya itu. (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadist: Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardzibah al-Bukhari dan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi dalam Shahih keduanya yang merupakan kitab yang paling shahih).
Makin didalami niat ternyata menjadi landasan utama amalan. Bahasa modernnya visi sedangkan amalan adalah misi. Niat menjadi gambaran tujuan akhir apa yang akan kita dapatkan dari sebuah amal. Akan terasa urgensi niat ketika kita menjalani kerja kontinu dalam waktu yang cukup panjang.
Contohnya belajar di sekolah, mengasuh anak, merawat orangtua maupun mencari nafkah. Kita percaya kegiatan tersebut adalah amalan shalih, tapi seringkali dalam perjalanannya niatan awal kita mengerjakannya menjadi terkikis.
Penyebabnya tak jarang karena hasil yang kita inginkan tidak sesuai dengan yang kita dapatkan. Sudah susah payah belajar, ternyata nilai tidak sesuai yang kita harapkan lalu patah semangat untuk belajar. Berpayah-payah mengasuh anak ternyata tumbuh kembangnya terpengaruh lingkungan jauh dari harapan lalu patah semangat memperbaiki pengasuhan. Berlelah-lelah membantu dan merawat orangtua tapi tidak dihargai atau malah dikritisi lalu marah berhenti membantu mereka. Susah payah mencari rizki namun hasil yang diharapkan tidak mencukupi kemudian tergoda untuk menyalahkan keadaan dan terasa berat mengupayakan.
Sampai di sini kita bertanya bagaimanakah niat yang benar?
Imam an-Nawawi berkata:
Hadist ini menunjukkan bahwa niat itu sebagai barometer untuk menilai sahnya amalan. Bila niatnya baik, maka amalnya baik dan bila rusak, maka rusak pula amalnya. Jika dijumpai suatu amalan dan dibarengi oleh niat, maka terdapat tiga keadaan:
Kemerdekaan itulah yang diisyaratkan Rasulullah, ketika Aisyah mengatakan kepada beliau pada saat beliau melakukan Qiyamul Lail sehingga kedua telapak kaki beliau bengkak, " Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan ini dengan susah payah, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang terdahulu dan yang kemudian?" Beliau menjawab: "Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang banyak bersyukur?".
- Melakukan amalan karena takut kepada Allah dan ini ibadahnya hamba.
- Melakukan amalan karena mencari surga dan pahala, ini ibadahnya pedagang.
- Melakukan amalan karena malu kepada Allah menunaikan hak ubudiyah, dan menunaikan rasa syukur. Kendati demikian ia merasa lalai, dan bersamaan dengan itu hatinya merasa takut. Karena ia tidak tahu apakah amalnya diterima ataukah tidak? Ini ibadahnya orang-orang merdeka.
Manusia merdeka adalah manusia yang menunaikan hak Allah, menunaikan rasa syukur.
Contoh amal karena takut, misalnya kita belajar karena khawatir tidak lulus dalam ujian.
Contoh amal karena mencari keuntungan misalnya kita bekerja untuk mendapatkan penghasilan.
Sementara amal yang merdeka adalah yang terbebas dari motivasi takut atau untung-rugi semata. Kita belajar karena kebutuhan kita untuk memahami sebuah ilmu, kita bekerja karena Allah memerintahkan kita mandiri dan mencari penghidupan. Amalan kita tidak disetir oleh keinginan-keinginan sementara yang dapat datang dan pergi kapan saja. Amalan kita sederhananya adalah karena Allah menuliskan panduan untuk manusia dalam ayat-ayat-Nya.
Jika ditanyakan: Apakah yang lebih utama, beribadah disertai rasa takut (khauf) ataukah ibadah yang disertai harapan (raja').
Jawaban: Menurut Al-Ghazali, ibadah disertai harapan adalah lebih utama, karena harapan menyebabkan cinta, sedangkan takut menyebabkan keputusasaan. Ketiga macam ini berlaku untuk orang-orang yang ikhlas.
Ketahuilah bahwa keikhlasan itu ada kalanya terjangkit penyakit 'ujub (bangga diri). Barangsiapa yang dibuat kagum dengan amalnya, maka amalnya batal. Demikian juga orang yang sombong maka amalnya batal.
Keadaan yang kedua, ia melakukan hal itu untuk mencari dunia dan akhirat sekaligus. Sebagaian ulama berpendapat bahwa amal-nya tertolak. Ia berargumenkan dengan sabda Nabi dalam khabar rabbani (Hadist Qudsi),
Allah berfirman, 'Aku adalah dzat yang paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan dimana dia mempersekutukan sesuatu (bersamaKu), maka aku berlepas diri darinya.
Seringkali kita dibuat kagum oleh amalan. Di era sosial media seperti ini, misalnya kita kagum dengan status-status nasihat yang kita posting di akun dan mendapatkan banyak respon. Makin kita merasa bahwa amalan kita dilihat dan menyebabkan orang lain terpesona, kadangkala makin sulit bagi kita untuk mengoreksi diri.
Sekali kita mendapatkan kritik, hati menjadi sakit dan dengki. Betapa melenakannya kebaikan sebuah amal. Jika kita nilai amal itu baik, serahkanlah kepada Allah untuk dinilai. Lepaskanlah respon manusia terhadap baik-buruk nya amalan kita karena bukan mereka yang akan bersaksi kita di akhir kelak. Lagi, sederhanakanlah penilaian nilai amal kita hanya untuk Hakim Yang Maha Adil, Maha Kekal, Maha Bijaksana, Maha mengetahui atas segala kejadian yang menimpa hamba-Nya.
Kita tidak perlu menjelaskan apapun pada siapapun, seperti pepatah: Tidak perlu menjelaskan dirimu kepada siapapun, karena yang membencimu tak mempercayainya dan yang menyukaimu tak perlu itu.
Pendapat ini diikuti Al-Harist Al-Muhasibi dalam kitab Ar-Riayah, dengan pernyataannya, "Ikhlas ialah kamu menginginkanNya dengan menaatiNya, dan tidak menginginkan selainNya".
Riya itu ada 2 macam:
Keduanya membatalkan amalan. Pendapat ini dinukil Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah dari sebagian salaf. Sebagaian mereka berargumenkan atas hal itu juga dengan firman Allah:
- MenaatiNya hanyalah karena (riya') kepada manusia.
- Menginginkan manusia dan Rabb Manusia.
"Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Sifat Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan" (Al-Hasyr:23)
Sebagaimana Dia menolak istri, anak dan sekutu, Dia menolak juga amalan yang disekutukan dengan selainNya. Karena Dia Maha-tinggi, Mahabesar, yang memiliki segala kebesaran. As-Samarqandi mengatakan, "Apa yang dilakukan oleh Allah, diterima dan apa yang dilakukannya karena manusia, ditolak. Contohnya: siapa yang shalat Dhuhur, dan berniat menunaikan apa yang difardhukan Allah, tetapi ia memanjangkan rukun-rukun dan bacaannya serta memperbagus shalatnya diterima. Adapun yang dipanjangkan dan diperbaguskannya demi manusia, maka tidak diterima, karena meniatkannya untuk manusia."
Syaikh Izzuddin bin Abdussalam ditanya tentang orang yang shalat lalu memanjangkan shalatnya karena manusia, maka dijawab, " Aku berharap amalnya tidak batal. Ini semuanya bila 'persekutuan' tersebut terjadi berkenaan dengan sifat amal. Jika terjadi pada pokok amalan, misalnya ia shalat fardhu karena Allah dan manusia, maka tidak diterima shalatnya; karena persekutuan tersebut mengenai pokok amalan."
Allah Maha Segala dalam semua tindakan-Nya. Dari sedikit sifat cemburu Allah pada hamba yang menduakannya, kita dapat memahami dari contoh sehari-hari. Seperti cemburunya hati kita ketika saudara kita mendapatkan pujian dan hadiah lebih banyak dari kita padahal kita merasa lebih layak dan pantas karena bakti kita kepada orang tua. Kita merasa perlakuan orang tua tidak adil atas apa yang selama ini kita lakukan untuk mereka.
Jika rasa cemburu itu hanya bagian dari persepsi kita yang serba terbatas, bagaimana dengan Allah Yang Maha Mutlak KebesaranNya? Bagaimana Dia tidak merasa cemburu kita memilih memuji sesama makhluk atas semua pemberian yang Dia berikan? Bukankah segala kesulitan dan kemudahan semata datang darinya? Dan kita diminta berusaha sebaik-baiknya untuk mengejar kesyukuran atas semua kesempatan yang Dia berikan? Apa sungguh sulit kita melihat Allah di tiap sebalik kehidupan keseharian?
Seseorang tidak boleh dihormati, jika Allah tidak memerintahkannya (Ertugrul Bey)
No comments:
Post a Comment