Jika kita bandingkan diri ini dengan generasi yang lebih muda, akan selalu ada yang terasa kurang di tiap pertambahan usia. Saya sendiri sedang mengerem cara pikir: mending gue ya, begini. Dan mengubah jadi apresiasi ke orang lain atas seminimal apapun pencapaiannya. Siapa sih yang suka gaul sama nenek nyinyir?
Inget kalau mau nyinyir: keterusan kebawa tua, sampai rambut putih, pundak melengkung jalan tertatih-tatih kok masih suka sentimen sama pencapaian orang.
Kata yang lebih muda perkasa mereun: singkirin aja lah ini nenek brisik, sakit, tiada guna. Hanyoolohh...mo hapaaa?
BAYANGANNYA, SIH
Ngomong-ngomong, mau jadi nini-nini macam apa sih saya ini?
Ngomong-ngomong, mau jadi nini-nini macam apa sih saya ini?
Ish, ya kalo usia sampe nini-nini lha kalo bentar lagi wassalam cem mana?
Kata Soe Hok Gie, orang yang mati muda itu beruntung. Farewell dengan kehidupan ketika suasana lagi manis-manisnya. Lha kalo udah tua, susah matinya kan malah repot. Udah nyusahin orang, ga kelar-kelar lagi hajat hidupnya. Bisa-bisa disumpahin yang engga-engga sebelum menutup mata. Bahaya kalo sampek susah dikubur gara-gara mendzalimi orang tanpa sadar. Itu baru sampe kubur, perjalanan masi panjang, broh:
Yang saya bayangkan ketika menua tentu saja yang endah-endah, macam memanen di kebun sayuran, memangkas rumput kebun bunga, memancing ikan di kolam, memelihara flamingo, menyulam, merajut, menjahit. Walah, nek, banyak amat maunya. Yakin bakal betah begitu?
Rasanya ada satu lagi: mengajar. Mengajari mindset mungkin bakal ga kekejar sama pemikiran2 anak2 muda yang one step ahead ya. Di beberapa kelas yang saya ikuti, bukan mindset-nya yang dibongkar tapi konsistensi dan determinasinya yang terus dikipas-kipas. Ngajarin yang simple2 aja. Anak2 jaman kekinian kan makin ga sabar. Nah, mari kita cari sesuatu yang makin indah ketika diciptakan dengan kesabaran. Trus, bikin kurikulum terstrukturnya.
Tapi jadi kepikiran, mungkinkah kurikulum masa depan lebih menitikberatkan ke attitude seperti: bagaimana menjadi orang yang sabar, bagaimana menciptakan hubungan baik dengan orang lain, seni berbicara dengan generasi old, etc? Karena ternyata ada fenomena jasa sewa pacar, istri, orang-tua, anak di Jepang seperti liputan ini.
PUBLIC FIGUR
Ada beberapa tokoh sepuh yang merupakan publik figur mencuri perhatian saya akhir-akhir ini.
Yeaps please welcome to Aung San Suu Kyi, Brigitte Trogneux, jeung Wan Azizah Wan Ismail dengan segala kontroversi yang mereka punya.
Jika berpikir perihal anak keturunan, lebih menyenangkan ketika kita dikenal karena karya daripada karena aktivitas publik. Ya, aktivitas publik ga ada salahnya asal jelas ada goalnya. Dan goal itu yang bersuara lebih keras dibanding nama kita. Misalnya, seperti perjuangan penghapusan apartheid yang mengenalkan nama Nelson Mandela. Itu jejak yang lebih faedah dan secara shahih serta meyakinkan akan bisa diduplikasi generasi selanjutnya yang menjadi tabungan jariyah buat kita.
Hanya saja, di Indonesia, jejak pemimpin publik lebih dikenal karena monumen yang ditinggalkan. Makanya gak heran kalau proyek infrastruktur sangat populer untuk mengidentikkan sebuah nama dengan kinerja. Kalau sudah begini kita bingung, apa kemanfaatan kita ditentukan seberapa banyak infrastruktur yang dimiliki? Padahal, tren jaman now menunjukkan keinsafan:
Di samping sebuah tren (yang mungkin diinisiasi juga oleh selebritis) pemahaman ini mestinya juga berangkat dari kesadaran terhadap kekayaan bumi yang ga akan terbeli dengan sebanyak apapun infrastruktur yang dimiliki. Masalahnya, kalau bukan infrastruktur, apakah parameter kesuksesan public figure?
Balik lagi ke urusan personal dalam rangka mempersiapkan diri sebagai nini-nini.
Apa yang akan diwariskan ke anak-ucu nanti deretan tabungan, asset tetap, obligasi atau saham? Anda-anda yang pernah berkutat dengan masalah warisan pasti sepakat, ada hal yang lebih berharga dari itu semua: moral. Atau Ali bin Abi Thalib menekankan pada ilmu. Ilmu, kata beliau lebih berharga sebab ilmu akan menjaga diri kita, sementara harta malah sebaliknya, malahan kita yang harus menjaganya.
Percayalah, sederetan harta akan habis ketika dibagi ke sekian turunan, tapi ketika kita mewariskan moral-ilmu malah akan ada jariyah yang anak keturunan berikan sebagai baktinya untuk orang tua.
Ada anak-ucu yang ga rebutan warisan? Ada. Malah ada juga yang menginfakkan untuk penerus amal orang tua.
So, mau jadi nenek2 kayak mana saya? Anda?
Rasanya ada satu lagi: mengajar. Mengajari mindset mungkin bakal ga kekejar sama pemikiran2 anak2 muda yang one step ahead ya. Di beberapa kelas yang saya ikuti, bukan mindset-nya yang dibongkar tapi konsistensi dan determinasinya yang terus dikipas-kipas. Ngajarin yang simple2 aja. Anak2 jaman kekinian kan makin ga sabar. Nah, mari kita cari sesuatu yang makin indah ketika diciptakan dengan kesabaran. Trus, bikin kurikulum terstrukturnya.
Tapi jadi kepikiran, mungkinkah kurikulum masa depan lebih menitikberatkan ke attitude seperti: bagaimana menjadi orang yang sabar, bagaimana menciptakan hubungan baik dengan orang lain, seni berbicara dengan generasi old, etc? Karena ternyata ada fenomena jasa sewa pacar, istri, orang-tua, anak di Jepang seperti liputan ini.
PUBLIC FIGUR
Ada beberapa tokoh sepuh yang merupakan publik figur mencuri perhatian saya akhir-akhir ini.
Yeaps please welcome to Aung San Suu Kyi, Brigitte Trogneux, jeung Wan Azizah Wan Ismail dengan segala kontroversi yang mereka punya.
Aung San Suu Kyi
- Saya berkenalan dengan figur Aung San Suu Kyi kurang lebih di sekolah menengah dari sebuah majalah wanita yang memuat kisah hidupnya. Patriotik, kurang lebih itu yang saya tangkap dari sosok the lady yang satu ini. Lama tak intens mengikuti kabarnya, ternyata setelah melalui perjalanan yang cukup panjang Suu Kyi memenangkan Pemilu di Burma. Tapi sikap patriotiknya gemetar ketika berhadapan dengan genosida Etnis Rohingya. Suu Kyi kebingungan menegaskan sikap. Air mukanya gusar dan sangat dilematis ketika diwawancarai secara spontan mengenai kejadian di Arakan. Mengapa dia terlihat tertekan dan bingung, sebagai State Counsellor bukankah tugasnya juga mendalami isu etnis di Burma?
Brigitte Trogneux
- Beberapa tahun terakhir, istri Presiden Prancis selalu menjadi sorotan kontroversi, mulai dari supermodel Carla Bruni yang dalam jangka waktu setahun menggantikan Cécilia Ciganer-Albéniz yang diceraikan Sarkozy, Valérie Trierweiler yang secara resmi tidak pernah menikah dengan François Hollande sampai paling anyar Brigitte Trogneux dengan usia 24 tahun lebih senior dibanding pasangannya Emmanuel Macron. Dengan petisi yang menolak jabatan resmi untuk Brigitte sebagai first lady dimana petisi ini dipicu oleh kebijakan Macron yang hendak mengukuhkan status tersebut sebagai support system untuk Presiden, nampak sekali Brigitte punya pengaruh signifikan untuk kemenangan Macron. Apakah itu, cinta? Waduh, di tengah jabatan politik yang sulit bicara ketulusan, jangankan cinta, empati saja mungkin sudah dibelenggu kepentingan kanan kiri seperti Suu Kyi.
Wan Azizah Wan Ismail
- Sebenarnya sudah sejak awal mula Anwar Ibrahim didakwa melakukan perbuatan asusila yang menyebabkan karir politiknya hancur, istrinya, Wan Azizah Wan Ismail maju untuk menggantikan dan mempertahakan ideologi reformis yang diusung sang suami. Menariknya ketika Mahathir menang kini (dimana Mahathir diketahui umum sebagai oposisi dari Anwar), Wan Azizah lah ketua Parti Perikatan yang mencalonkan Mahathir sebagai Perdana Menteri. Popularitas Wan Azizah tentu menarik sebab tidak sebagaimana Suu Kyi dan Brigitte, Wan Azizah tidak membawa nama megah nenek moyang. Secara pribadi, Wan Azizah lebih mirip dengan Ibu Hasri Ainun Habibie sebagai seorang dokter spesialis dengan gelar terbaik di Irlandia. Dua puluh tahun karir politiknya hingga berada di posisi sekarang, perempuan yang tidak berlindung di balik nama besar siapapun ini terlalu mencolok untuk diabaikan.
Jika berpikir perihal anak keturunan, lebih menyenangkan ketika kita dikenal karena karya daripada karena aktivitas publik. Ya, aktivitas publik ga ada salahnya asal jelas ada goalnya. Dan goal itu yang bersuara lebih keras dibanding nama kita. Misalnya, seperti perjuangan penghapusan apartheid yang mengenalkan nama Nelson Mandela. Itu jejak yang lebih faedah dan secara shahih serta meyakinkan akan bisa diduplikasi generasi selanjutnya yang menjadi tabungan jariyah buat kita.
Hanya saja, di Indonesia, jejak pemimpin publik lebih dikenal karena monumen yang ditinggalkan. Makanya gak heran kalau proyek infrastruktur sangat populer untuk mengidentikkan sebuah nama dengan kinerja. Kalau sudah begini kita bingung, apa kemanfaatan kita ditentukan seberapa banyak infrastruktur yang dimiliki? Padahal, tren jaman now menunjukkan keinsafan:
Gambar diambil dari sini.
Balik lagi ke urusan personal dalam rangka mempersiapkan diri sebagai nini-nini.
Apa yang akan diwariskan ke anak-ucu nanti deretan tabungan, asset tetap, obligasi atau saham? Anda-anda yang pernah berkutat dengan masalah warisan pasti sepakat, ada hal yang lebih berharga dari itu semua: moral. Atau Ali bin Abi Thalib menekankan pada ilmu. Ilmu, kata beliau lebih berharga sebab ilmu akan menjaga diri kita, sementara harta malah sebaliknya, malahan kita yang harus menjaganya.
Percayalah, sederetan harta akan habis ketika dibagi ke sekian turunan, tapi ketika kita mewariskan moral-ilmu malah akan ada jariyah yang anak keturunan berikan sebagai baktinya untuk orang tua.
Ada anak-ucu yang ga rebutan warisan? Ada. Malah ada juga yang menginfakkan untuk penerus amal orang tua.
So, mau jadi nenek2 kayak mana saya? Anda?